Doa Terberat

, , No Comments
Allaahu akbar.. allaahu akbar.. allaahu akbar..
Laa ilaaha illallaahu allaahu akbar..
Allaahu akbar wa lillaahil hamd..


Suara takbir bertalu-talu keluar dari pengeras suara mushalla di sekitar rumahku. Arak-arakan anak kecil membawa obor keliling kampung sudah rampung lewat sejam yang lalu. Dan aku masih di sini, di dalam kamar, memijat kaki ibuk yang keseleo akibat terjatuh dari tangga ketika akan ke kamar mandi tiga hari yang lalu.


Sudah hampir jam sembilan malam.

“Ndhuk, aku sesuk nggae sandal apa?”

Bagai tersadar dari lamunan, aku segera menjawab, “Sesuk ibuk ndherek shalat idul fitri ning mesjid?”

“Lha piye?”

“Tak pikir lek ibuk jik gung isa tindak, gak usah ndherek. Aku tak shalat ning langgar paling cedhak ae, trus langsung mulih.”

“Gak apa-apa, aku tak melu ae. Sampeyan siapne kabeh ya.”

“Ya.”

Lalu ibuk tertidur. Aku mengelap air mata yang jatuh berkali-kali sejak tadi. Aku kuat-kuatkan agar suaraku tak bergetar di hadapan ibuk.

Sedih? Mungkin saja. Senang karena esok Lebaran? Entahlah.

Berkelebat-kelebat kejadian tiga minggu terakhir ketika ibuk tiba-tiba hilang pendengarannya, ketika kontrol ke dokter THT, dokter syaraf, dokter penyakit dalam, berkali-kali periksa ke rumah sakit, masuk Instalasi Gawat Darurat, dan segala kelelahan batin yang mendera aku juga ibuk. Sungguh kejadian yang sangat di luar dugaan. Ibuk yang secara umum tidak pernah sakit serius, tiba-tiba harus divonis “tuli mendadak.”

Teringat pula ketika malam aku selesai sembahyang di samping tempat tidur ibuk, kulihat nafasnya teratur naik turun. Rasanya tidak ada doa yang bisa keluar dari mulutku. Sudah terlampau kering bibirku merapal segala pinta pada Yang Maha Menyembuhkan. Sudah habis cadangan kataku hanya untuk menyebut satu permohonan. Terlalu malu diri yang hina dan banyak bermaksiat ini membetik sebuah keinginan ini itu.

Mukenaku sudah basah. Kuambil tisu untuk mengelap ingus dan air mata yang menjadi satu. Kuamati ibuk yang menarik selimut, lalu miring ke kanan, di atas tempat tidur. Kulihat ubannya yang semakin hari semakin banyak, kulitnya yang bertambah keriput, dan badannya yang mengurus semenjak menderita vertigo berkelanjutan hampir sebulan lamanya.

“Allah... Allah... Allah...”
Hanya itu yang mampu kuucap.

“Allah... Allah... Allah...”
Sudah cukup atau belum Engkau memberi sakit ibuku?

“Allah... Allah... Allah...”
Akankah Engkau memberi pengampunan atas dosa-dosa ibuku melalui sakit ini?

“Allah... Allah... Allah...”
Hendakkah Engkau membangunkan sebuah rumah untuk ibuku di surga nanti?

“Allah... Allah... Allah...”
Apa yang akan Engkau jadikan lagi setelah ini dalam sabda Kun! Fayakun-Mu?

“Allah... Allah... Allah...”
Dadaku semakin sesak.

“Allah... Allah... Allah...”
Aku hampir tak mampu bernafas.

“Allah... Allah... Allah...”
Aku mencengkeram tasbih erat-erat hingga terasa sakit di telapak tanganku.

“Allah... Allah... Allah...” 

Aku ingat sebelum badanku tersungkur di atas sajadah, aku mengucap tiga kalimat:
“Tuhan, aku tidak memohon kesembuhan ibuku.
Tuhan, jika menjadi tuli selamanya lebih baik bagi dunia dan akhirat ibuku, jadikanlah ia tuli saja sesuai kehendakMu.
Tuhan, jika sembuh adalah lebih baik bagi dunia dan akhirat ibuku, maka sembuhkanlah ibuku sesuai kehendakMu.”

Terserah Engkau, Tuhan. Terserah. Engkau satu, aku nol. Aku tidak tahu, sedangkan Engkau Maha Tahu.

Lalu yang kuingat setelahnya adalah aku terbangun tiba-tiba dini hari dengan dada berdegup kencang. Aku beristighfar berkali-kali sambil berdiri dari sajadah dan melipat mukena terburu-buru. Aku menuju kamar mandi, kemudian menangis tersedu-sedu. Aku bermimpi, sebulan lagi, ibuk akan meninggal.

nb: Catatan 30 Ramadhan 1437 H

0 komentar:

Post a Comment