Rating 4/5.


sumber: google.com
Buku ini kali pertama terbit tahun 2007 di New York dan cetakan pertama Indonesia tahun 2012. Aku nemu buku ini di obralan Gramedia beberapa bulan lalu, juga di bazar buku GNI seharga 35rb. Murah sekali untuk ukuran buku 543 halaman. Sering aku kepo, kenapa Mizan kerap kali mengobral bukunya. Padahal bagus2.

Karya ini merupakan novel bergambar. Jadi tulisannya sendiri kira2 hanya sepertiga bagiannya. Selebihnya berupa goresan tangan Brian Selznick, penulis sekaligus ilustrator buku ini sendiri. Jarang lho ya, orang terampil menulis sekaligus bisa menggambar manual dengan rapi dan apik.

Aku yang sebetulnya antipati terhadap buku terjemahan (beberapa kali mencoba baca dan menyerah di tengah jalan karena bahasanya-yang-enggak-banget), kali ini harus mengacungi jempol untuk Selznick dan penerjemahya.

Bercerita tentang Hugo Cabret, bocah cilik lelaki yang hidup di Paris dengan setting tahun 1931. Rupanya novel ini diangkat dari kisah nyata.
Cabret menemukan sebuah mesin berbentuk manusia yang sedang menulis, di reruntuhan museum tempat ayahnya dahulu bekerja. Sedangkan ayahnya sendiri tewas ketika museum itu terbakar, entah karena sebab apa.

Hugo Cabret yang mewarisi keterampilan ayah dan pamannya dalam hal mengutak-atik mesin dan bertugas menjaga seluruh jam di stasiun agar tetap berjalan tepat waktu, sangat tertarik dengan mesin itu. Ia berusaha membetulkan setiap inchi mesin manusia tersebut dengan barang2 yang dicurinya dari sebuah toko mainan di stasiun. Iya, Cabret adalah bocah penuh penasaran sekaligus pencuri ulung.

Yang tidak disadari Cabret, ternyata mesin misterius itu menyimpan rahasia besar masa lalu tentang seseorang yang kini telah menua. Masa lalu yang sangat ingin dilupakan.

Yang jelas, buku ini cukup aman dibaca bahkan untuk anak SD. Bahasa dan alurnya sederhana, konfliknya proporsional dan ada pesan moral manis di akhirnya. Gambar yang disuguhkan membantu anak berimajinasi mengenai penokohan dan jalan cerita.

Yuk, kita bantu anak2 menyenangi buku!
Tangerang Selatan & Kediri berjarak tak kurang dari 700 km.
Perpisahan resmi kita dimulai sejak sehari setelah pernikahanmu, mbak, ketika ibu mendudukkanmu & mas di meja makan, sembari menunggu travel yang mengantar kalian ke Surabaya, utk lanjut ke perantauan.

Tidak mungkin aku lupa bagaimana pesan terakhir ibu sebelum melepasmu ke tangan mas selamanya.
"Ndhuk, aku ridhai pernikahan kalian. Semoga diberkahi Allah, dimudahkan dalam segala urusan, dituntun dlm setiap langkah & dikaruniai anak2 shaleh shalehah.
Ibuk gak bisa ngasih kalian harta benda apa2 sebagai sangu, hanya bekal ilmu yang cukup & doa yang akan selalu menemani kemanapun kalian pergi.
Mas Yudho, titip Rahma. Jaga dia, bimbing dia. Ingatkan kalau dia salah. Tolong jangan pernah sakiti hatinya, apalagi fisiknya.
Rahma anaknya perasa. Mungkin dia tidak akan bicara banyak, tapi kadang2 air matanya menetes begitu saja kalau hatinya sedang resah. Tanyai dia, ada apa."

Kalimat selanjutnya sudah tak sanggup aku dengar krn bendungan air mataku nyaris jebol.
Di titik dimana kau bukan milik kami lagi sepenuhnya, tapi milik suami & keluarganya juga.

Ibuk sering juga berkata padaku, "Ndhuk, ibuk gak bisa kasih contoh bagaimana melayani suami yg baik, krn bapakmu sudah lama tiada."

Lalu aku diam2 memperhatikanmu mbak, bagaimana kau melayani suamimu.
Kau hampir tidak pernah makan malam dulu sebelum suamimu pulang, kecuali jika terpaksa sekali atau sedang hamil.
Kau selalu bangun paling pagi utk menyiapkan sarapan bagi suami & anakmu, Zafran. Kau pisahkan kotak bekal untuk dibawa ke kantor & sekolahnya.
Padahal pekerjaanmu sebagai dosen juga menuntut untuk masuk pagi pulang sore. Sesekali bertugas ke luar kota, mengantar mahasiswa studi ke Singapura, presentasi hasil riset ke Thailand dan Vietnam, survey lokasi ke Kepulauan Seribu, dll.

Apalagi kini bertambah kehadiran si kecil, Gibran, yang menuntut perhatian lebih.
Belum lagi urusan asisten rumah tangga yang perlu disiapkan sebelum cutimu habis, serta suami yang akan sekolah di sini & Jepang.

Menariknya hidup ya, selalu penuh tantangan & kejutan.
Dan kita bisa, karena selalu terpaut dalam untaian doa.

Selamat ulang tahun ❤❤❤
Rating 4/5

Raditya Dika kembali menelurkan karya terbaru pada 1 Februari 2018. Sesuatu yang telah lama aku tunggu di tengah kesibukannya menyutradarai film layar lebar, syuting youtube, membintangi iklan, mengisi workshop menulis, standup comedy, memersiapkan pernikahan dan sederet aktifitas lain.



Buku ini masih sama seperti semua buku sebelumnya, yaitu kumpulan cerita sehari2 Radit. Bedanya, ketika buku pertama Kambing Jantan dulu berisi murni kisah hidupnya yang masih kocak dan random, buku ini menceritakan posisi Radit yang sudah menjadi "selebriti, seniman" seperti sekarang.

Aku yang mengikuti perjalanan hidupnya dan membaca seluruh bukunya, merasa betul ada pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi dalam dirinya. Aku selalu yakin bahwa orang yang sukses dari bawah, akan tetap bisa rendah hati meskipun kini ia telah memiliki penghasilan milyaran (mungkin?) dan hidup di tengah2 bisnis yang gemerlap.

Buku ini antara lain berisi tentang pertemuan dan perpisahannya dengan Kathu, mantan tetangga dari India; tentang orang2 yang tetap dan berubah setelah sekian tahun; tentang patah hati kecil; tentang percakapan dengan Prilly Latuconsina, aktris yang tengah naik daun; tentang nostalgia pada seorang nenek di Jepang; tentang rasanya menjadi orang terkenal; dan tentang ia yang akhirnya percaya hantu setelah syuting film Hangout.

Awalnya aku skeptis dengan buku tipis yang mahal ini (231 hal, 66 ribu), apakah masih tetap komedik. Ternyata sampai tengah2, aku tetap bisa tersenyum dan menangis sekaligus. Radit tetap jadi orang jujur yang menulis dari hati. Tulisan dari hati akan sampai ke hati juga.

Bacaan ini cocok dilahap sekali duduk. Aku membacanya 4 jam di dalam kereta Kdr-Jkt.
Buku ini juga inspiratif. Sepertinya aku menemukan gol baru untuk diraih tahun ini.
Sweet book, Radit!